hukum perjanjian sering diartikan sama dengan hukum perikatan. Hal ini berdasarkan konsep dan batasan definisi pada kata perjanjian dan perikatan. Dan dilakukan apabila dalam sebuah perisiwa seseorang mengirkrakan janji kepda pihak ain atau terdapat dua pihak yang saling berjanji satu sama lain untuk melakukan suatu hal.
sedangkan,hukum perikatan dilakukan apabila dua pihak melakukan suatu hubungan hukum,hubungan ini memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk memberikan tuntutan atau memenuhi tuntutan tersebut.
berdasarkan penjlasan tersebut,dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum perjanjian akan menimbulkan hukum perikatan.artinya,tidak akan ad kesepakatan yang mengikat seseorang jika tidak ada perjanjian tertentu yang disepakati oleh masing-masing pihak.
apabila hukum peejanjian tidak memenuhi unsur subjekif,misalnya salah satu pihak berada dalam pengawasan dan tekanan pihak tertentu,maka perjanjian ini dapat dibatalkan dihadapan hakim.sehingga,perjanjian tersebut tidak akan mengikat kedua belah pihak.
hukum perjanjian ini akan berlaku apabila masing-masing pihak telah menyepakati isi perjanjian.kemudian timbul pertanyaan,bagaimana apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian ini
pihak yang tidak melaksanakan perjanjian diberlakukan hal sebagai berikut.
- mengganti kerugian yang diderita oleh pihak yang satunya.
- materi perjanjianya dibatalkan oleh kdua belah pihak atau dihadapan hakim.
- mendapatkan peralihan resiko dan
- membayar seluruh biaya perkara apabila pihak yang merasa dirugikan mengajukannya ke muka hakim.
1. Standar Kontrak
Di ketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundang-undagan yang lebih tinggi saja yang mempunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
2. Macam-macam perjanjian
A) Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
B) Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal baliK
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
C) Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis.
Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
D) Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA.
Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.
3. Syarat sahnya perjanjian
Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :
- Sepakat mereka yang mengikat dirinya, yaitu adanya kesepakatan antar pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal yaitu unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan.
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, didalam KUH oerdata disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampunan.
- Mengenai suatu hal tertentu, suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan beda sehingga tidak mengira-ngira.
- Suatu sebab yang halal, Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat
dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
4. Saat lahirnya perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
a) kesempatan penarikan kembali penawaran;
b) penentuan resiko;
c) saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d) menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
- Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
2. Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
3. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
4. Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.
5. Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pelaksanaan kontrak
Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP menjadi bagian dari pengaturan tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341 KUHP.
Asas yang mengikat dalam pelaksanaan kontrak
Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak ialah :
Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
Pembatalan perjanjian
Pembelokan pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan wanprestasi atau ingkar janji. Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak.
Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
- Tidak memenuhi prestasi sama sekali
- Terlambat memenuhi prestasi, dan
- Memenuhi prestasi secara tidak sah
Sumber referensi :
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/hukum-perjanjian-3/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar