Tampilkan postingan dengan label TULISAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TULISAN. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 April 2012

REFORMASI KEBIJAKAN HARGA PRODUSEN DAN DAMPAKNYA TERHADAP DAYA SAING BERAS

REFORMASI KEBIJAKAN HARGA PRODUSEN DAN DAMPAKNYA TERHADAP DAYA SAING BERAS

Kebijakan harga melalui jaminan harga dasar dapat memperkecil risiko dalam berusahatani, karena petani terlindungi dari kejatuhan harga jual gabah/beras di bawah ongkos produksi, yang sering terjadi dalam musim panen raya.1,2,3) Manakala risiko suatu usaha dapat ditekan sekecil mungkin, maka ketersediaan beras dari produksi dalam negeri lebih terjamin4. Ketersediaan beras dari produksi dalam negeri menjadi salah satu unsur penting dalam memperkuat ketahanan pangan dalam situasi pasar beras internasional masih mencirikan pasar tipis (thin market) dan pasar sisa (residual market). 4,5,6)
Kebijakan harga gabah/beras untuk produsen dapat terlaksana karena adanya pengadaan, dalam hal ini BULOG sebagai lembaga pengesekusi. Pengadaan gabah/beras dapat terealisasi karena adanya mekanisme penyalurannya. Penyaluran beras pengadaan tersebut akan terhambat apabila kualitas gabah/beras tetap rendah.4,7,8,9) Kualitas gabah dan beras adalah salah satu kunci daya saing industri padi dan beras nasional10. Oleh karena itu, kebijakan harga dan insentif pendukung lainnya perlu dirancang untuk saling memperkuat keterkaitan tersebut, sehingga mampu memperkuat industri primer (padi) dan industri sekunder (beras).11,12)

I. KEBIJAKAN HARGA UNTUK PETANI DAN PERAN PENGADAAN BULOG
Kebijakan harga dan non-harga buat komoditas pangan telah lama dikenal dalam literatur ekonomi pertanian. Namun, kebijakan harga bagi kepentingan petani padi dan beras pertama sekali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1969. Sejak itu, kebijakan harga dan non-harga dilaksanakan secara bersamaan, sehingga Indonesia mampu meningkatkan produksi gabah yang tinggi.8,17,18)
Pemerintah mendorong petani untuk meningkatkan produksi melalui program bimbingan massal (BIMAS) pada pertengahan 1960an. Pada awalnya, pemerintah mendorong petani untuk meningkatkan produksi padi melalui kebijakan non-harga, seperti memperkenalkan varietas unggul padi, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, perbaikan pengairan, dan perbaikan teknik pertanian. Namun kebijakan non-harga saja ternyata belum cukup ampuh untuk mendorong petani meningkatkan produksi, karena harga gabah/beras yang diterima petani seringkali di bawah biaya produksi.2,8,18,19)
Dukungan pemerintah terhadap kebijakan harga berbeda antara di era reformasi dibandingkan dengan era orde baru (ORBA), terutama terkait dengan desentralisasi, peran teknokrat yang sangat rendah dan sebaliknya politikus.

1.1. Kebijakan Harga di Era Pemerintahan ORBA 
Pada era ORBA, pemerintah menetapkan harga gabah dan beras dengan instrumen harga dasar. Pemerintah melalui BULOG melakukan pengadaan gabah/beras, yang pada tahun-tahun tertentu seperti yang terjadi pada era swasembada pertengahan 1980an, melebihi jumlah penyaluran untuk menjaga harga gabah dan beras tidak jatuh di bawah harga dasar.
Penetapan harga dasar ditentukan oleh berbagai variabel dan formula. Formula yang dipakai untuk itu berubah dari waktu ke waktu. Awalnya harga dasar mengacu pada rumus tani, yaitu harga per kg gabah kering simpan (GKS) sama dengan harga per kg urea.

1.2. Kebijakan Harga di Era Pemerintahan Reformasi
Pemerintah di era reformasi menata ulang kebijakan harga yang terabaikan dalam periode 1997-2000. Pada waktu itu, pemerintah terpaksa menempuh liberalisasi pasar beras yang radikal, karena “tekanan” lembaga donor.24 Pada akhir tahun 2001, pemerintah berhasil menata ulang kebijakan perberasan nasional.
Perubahan harga dari harga dasar (HD) menjadi harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) tertuang dalam diktum ketiga Inpres No. 9/2001 tentang penetapan kebijakan perberasan dan berlaku sejak 1 Januari 2002. Inpres perberasan di era reformasi lebih komprehensif, mencakup kebijakan harga dan non-harga, kebijakan perdagangan, stok publik, serta subsidi beras terarah (targeted).8,12) Inpres kebijakan perberasan tersebut diperbaharui hampir setiap tahun. Sejak 2005, istilah HDPP diganti menjadi harga pembelian pemerintah (HPP).

1.3. Harga Gabah dan Pengadaan BULOG
Harga gabah di tingkat produsen dan pengadaan BULOG berkorelasi positif, yaitu 0,547 pada musim panen gadu, 0, 358 pada musim panen paceklik, dan 0,018 pada musim panen raya. Harga gabah ditentukan oleh musim panen padi, yaitu rendah pada musim panen raya dan tinggi di musim paceklik. Volume pengadaan gabah/beras BULOG juga berkaitan erat dengan musim panen dan harga gabah/beras di pasar.9,30,31)

II. KEBIJAKAN HARGA DAN HAMBATAN PENGEMBANGAN INDUSTRI BERAS
Industri padi adalah industri primer, yang terus didorong pengembangannya oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan harga dan non-harga. Namun di pihak lain, industri beras khususnya industri penggilingan padi belum kokoh dalam mendukung industri primer, karena minimnya sentuhan kebijakan pemerintah. Hal inilah yang telah mempengaruhi kualitas, harga, dan daya saing beras Indonesia.
PERPADI34 melaporkan bahwa jumlah penggilingan padi dewasa ini 109 ribu unit, didominasi oleh penggilingan padi skala sederhana dan kecil sebesar 95% dari total kapasitas giling. Sisanya 5% adalah pangsa penggilingan padi skala besar. Umumnya penggilingan padi skala sederhana dan kecil merupakan investasi pada akhir tahun 1960an sampai awal tahun 1980an. Pada waktu itu, pemerintah membatasi perkembangan unit penggilingan padi skala besar agar unit penggilingan padi skala kecil yang umumnya dimiliki oleh swasta pribumi mampu bersaing dalam struktur pasar gabah/beras yang oligopoli.19)

Kondisi teknologi unit penggilingan padi skala kecil yang sudah tua menjadi penyebab merosotnya kualitas beras, tingginya kehilangan hasil pada kegiatan pengeringan dan penggilingan.35,36,37,38) Investasi untuk pengembangan penggilingan padi modern berjalan sangat lambat di Indonesia.1,26)
Perhatian pemerintah terhadap industri penggilingan padi amat minim. Skim kredit untuk keperluan tersebut dan kebijakan fiskal belum mendukung modernisasi industri penggilingan padi. Hal ini ditambah dengan HPP yang dinaikkan hampir setiap tahun, namun “ditekan rendah” bagi pelaku industri pengolahan. Pada tahun 2006, misalnya, HPP untuk gabah kering panen (GKP) naik 30%, sedangkan HPP gabah kering giling (GKG) di tingkat penggilingan naik 27%, sedangkan kenaikan HPP beras 0%.
Rasio harga beras terhadap harga GKP yang ditetapkan pemerintah memperlihatkan hal yang sama. Rasio harga beras terhadap GKP pada tahun 2003 sebesar 227%, menurun menjadi 210% pada tahun 2005, merosot lagi menjadi 192% sejak tahun 2009. Semakin rendah rasio tersebut, semakin kurang berminat produsen untuk memperbaiki kualitas beras dan menerapkan teknologi baru.
Kenaikan yang tidak proporsional itu telah mengakibatkan sebagian industri penggilingan padi, terutama skala kecil, merugi. Majalah PADI39 melaporkan 25-30% unit penggilingan padi tidak beroperasi, terutama penggilingan padi skala kecil/sederhana yang umumnya adalah usaha kecil menengah (UKM).

111. LIBERALISASI PERDAGANGAN BERAS

Indonesia telah lama terlibat dalam berbagai perjanjian perdagangan produk pertanian dan non-pertanian di tingkat multilateral, regional, dan bilateral.42,43,44,45,46)

3.1. Perdagangan Multilateral

Indonesia ikut aktif dalam negosiasi di Putaran Doha WTO yang dimulai sejak akhir 2001 dan belum membuahkan kesepakatan hingga sekarang. Indonesia masuk dalam kelompok G-33, kelompok negara berkembang yang memperjuangkan sejumlah produk pertanian menjadi special product (SP), dan mengajukan perlindungan sementara melalui special safeguard mechanism (SSM).24,43)
Beras adalah salah satu komoditas pangan yang akan dimasukkan sebagai SP, sehingga tingkat liberalisasinya tidak terlalu besar dari yang telah diikat (bound) pada perundingan sebelumnya. Indonesia menuntut mekanisme perlindungan yang efektif melalui SSM untuk beras dan sejumlah produk pertanian lainnya. Perlindungan khusus ini juga akan punya batas waktu seperti halnya SP.24,43)

3.2. ASEAN FTA (AFTA) dan ASEAN China FTA (ACFTA)

Indonesia juga ikut aktif dalam berbagai perjanjian perdagangan regional, salah satu yang terpenting adalah AFTA. Negara ASEAN-6 telah berkomitmen dalam kerangka common effective preferensial tariff scheme (CEPT) untuk menghilangkan hambatan perdagangan dan menurunkan tarif impor semua produk ke tingkat 0-5% pada tahun 2010, kecuali beras dan produk yang masuk dalam kelompok highly sensitive list. Produk pada kelompok terakhir ini45,47) akan diliberalisasi paling lambat 1 Januari 2018.

IV. ARAH DAN FORMULASI KEBIJAKAN HARGA KE DEPAN

4.1. Arah dan Sasaran

Selain produktivitas, industri padi dan beras harus diperkuat dengan memproritaskan pada peningkatan efisiensi melalui pengurangan kehilangan hasil pada tahap pemanenan, perontokan, pengeringan, dan penggilingan gabah.
Kebijakan harga dan non-harga bagi produsen perlu dipertahankan, namun prioritasnya diberikan pada non-harga guna mempercepat peningkatan produktivitas dan efisiensi. Kebijakan harga perlu diubah dari kualitas tunggal atau medium ke multi-kualitas atau kualitas super dan premium, sehingga tercipta insentif untuk mendorong perbaikan kualitas gabah/ beras.
Pengadaan gabah/beras oleh BULOG juga diarahkan untuk mendorong perbaikan kualitas beras dan gabah, dengan mengimplementasikan kebijakan harga multi-kualitas. Lembaga BULOG harus diperankan dalam memecahkan kebuntuan investasi dalam industri penggilingan modern melalui pengadaan yang berbeda kualitas, dan penyaluran beras.
Selama lima tahun terakhir, beberapa anggota DPR/DPRD, pejabat Pemda, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pakar ekonomi pertanian mengusulkan agar pemerintah menerapkan HPP yang berbeda antar-wilayah. Kalau itu ditempuh maka tidak saja salah urus di lapangan akan lebih tinggi, tetapi juga pengamanan HPP menjadi kurang efektif, dan tidak mampu memecahkan persoalan perbaikan kualitas beras/gabah.26)
Pengalaman dari negara produsen di Asia memberikan keyakinan bahwa hampir tidak ditemui lagi penetapan harga dasar atau HPP dengan kualitas tunggal atau medium yang berlaku sepanjang tahun. Mereka menetapkan tingkat harga dasar atau HPP yang berbeda karena perbedaan kualitas beras, yaitu menurut butir patah, musim panen, dan varietas, seperti yang dilaporkan oleh FAO.48,49)

4.2. Strategi Kebijakan Harga Beras ke Depan

Indonesia juga harus mengimplementasikan kebijakan harga multi-kualitas dengan kombinasi kriteria:
(i) Perbedaan kualitas beras menurut butir patah, yaitu beras patah 5% atau 25%, tanpa butir menir.
(ii) Perbedaan musim panen, yaitu musim hujan atau musim kemarau.
(iii) Perbedaan varietas, yaitu varietas unggul atau varietas lokal/aromatik.
Tingkat HPP untuk butir patah 5%, dipanen pada musim kemarau, dan varietas lokal/aromatik ditetapkan lebih tinggi dibandingkan dengan beras berkualitas medium. Kualitas cadangan beras pemerintah (CBP) harus ditingkatkan secara bertahap dari kualitas medium menjadi kualitas premium/super dengan tahapan:
(i) Pada tahun pertama, sepertiga jumlah CBP diisi oleh beras kualitas premium/super, dan
(ii) Pada tahun ketiga, seluruh CBP telah terisi dengan beras kualitas premium/super.

resensi: 

http://www.ekonomirakyat.org/_artikel.php?id=7

PERDAGANGAN PASAR TRADISIONAL TERANCAM

PERDAGANGAN PASAR TRADISIONAL TERANCAM

Sudah banyak kajian yang menyebut pasar tradisional kini mengalami ancaman serius dari masifnya penetrasi dan ekspansi pusat perbelanjaan dan retail modern. Studi UGM, Nielson, SMERU, dan INDEF, mengkonfirmasi menurunnya omset pedagang di pasar tradisional maupun toko-toko lokal. Sayangnya, sampai dengan saat ini belum ada upaya serius dari banyak pihak terutama pemerintah untuk mengantisipasi hal itu.

Baru-baru ini Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dan Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) DIY juga melakukan studi dalam konteks Yogyakarta. Secara umum terdesaknya pedagang pasar tradisional atau pebisnis retail lokal, di antaranya dalam bentuk menurunya omset penjualan. Penelitian ini menemukan penurunan rata-rata sebesar –5,9%, namun penurunan yang lebih besar dialami oleh kelompok pedagang dengan aset antara Rp 5-15 juta, Rp 15-25 juta, dan di atas Rp 25 juta, yang masing-masing mengalami penurunan sebesar –14,6%, –11%, dan – 20,5%. Berdasarkan kewilayahan, penurunan omset tertinggi dialami oleh pedagang di kota Yogyakarta dan kabupaten Sleman, masing-masing sebesar – 25,5% dan – 22,9%.

Lebih khusus, penelitian ini juga menemukan bahwa yang paling terkena dampak adalah mereka yang pasokan dagangannya berasal dari industri/pabrikan dan lokasinya berdekatan dengan toko modern. Sementara pedagang yang lebih banyak menjual barang mentah atau produk pertanian atau industri desa cenderung tidak separah kelompok di atas. Penelitian ini mengungkap bahwa pedagang pasar tradisional yang menjual produk pabrikan sebesar 34%, produk pabrikan dan produk desa sebesar 18%, produk impor 3%, dan produk desa sebesar 45%.
Pada tingkat nasional, saat ini 28 ritel modern utama menguasai 31% pangsa pasar ritel dengan total omset sekitar Rp. 70,5 trilyun. Ini artinya bahwa satu perusahaan rata-rata menikmati Rp. 2,5 Trilyun omset ritel/tahun atau Rp. 208,3 milyar/bulan. Padahal kalau ditelusuri omset ritel modern tersebut terkonsentrasi pada 10 ritel inti, yakni minimarket Indomaret dan Alfamart (83,8%), supermarket Hero, Carrefour, Superindo, Foodmart, Yogya, dan Ramayana (75%), dan hypermarket Carrefour (48,7%), Hypermart (22%), Giant (17,7%), Makro (9,5%), dan Indogrosir (1,9%) (Pandin, 2009).
Hal ini kontras dengan ritel tradisional yang memiliki total omset sebesar Rp. 156,9 trilyun namun dibagi kepada sebanyak 17,1 juta pedagang, yang 70%-nya masuk kategori informal. Dengan demikian satu usaha pedagang tradisional rata-rata hanya menikmati omset sebesar Rp. 9,1 juta /tahun atau Rp. 764,6 ribu/bulan.

Perlindungan vs Free fight liberalism

Penetrasi pasar modern secara makro ekonomi tidak saja mengancam pelaku pasar tradisional, tetapi juga pelaku ekonomi pada sektor-sektor lain. Dengan kondisi struktur perdagangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kondisi persaingan usaha di Indonesia makin mengarah pada pola monopoli atau oligopoli sebagai dampak dari pengaruh globalisasi ekonomi (pasar bebas).
Sayangnya, regulasi pada tingkat nasional terkait perdagangan (Perpres No 112/2007 dan Permendag No 53/2008) tidak memiliki kecukupan material dan substansial dalam memberi arah dan model perlindungan dan pengembangan sistem nilai, modal sosial, dan pelaku pasar tradisional. Semangatnya justru lebih mengarah pada persaingan bebas (free fight liberalism). Isi kedua regulasi tersebut lebih mengakomodasi ketelanjuran tatanan perdagangan saat ini di mana telah terjadi dominasi peritel besar daripada memenuhi semangat dan imperasi konstitusional yang terdapat dalam Pasal-Pasal Sosial-Ekonomi Undang-Undang Dasar 1945.
Draft RUU Perdagangan yang sedang dibahas Pemerintah dan DPR saat ini juga lebih mencerminkan ketertundukan pada kenyataan faktual daripada cita-cita yang ideal (law as a tool of social enginering). Regulasi tersebut hanya melahirkan kebijakan residual, yang menjadikan pelaku pasar tradisional tetap akan sebagai obyek proyek dan pemain pinggiran.
Meskipun demikian, kekaburan semangat, arah, dan model perlindungan dan pengembangan perdagangan rakyat, telah memberi ruang lebar bagi eksistensi regulasi daerah. Dalam konteks perlindungan, maka beberapa regulasi daerah yang sudah ada maupun sedang dirancang di Propinsi DIY sudah menunjukkan semangat dan ketegasan aspek/model perlindungan bagi pelaku pasar tradisional. Namun bagaimana perlindungan terhadap sistem nilai dan modal sosial, serta arah, aspek, dan model pengembangan pasar tradisional masih belum jelas dan sangat ditentukan oleh tafsir dan orientasi pemangku kebijakan daerah.
Kebijakan perlindungan semestinya ditujukan untuk melindungi sistem nilai (kebersamaan dan kekeluargaan), modal sosial (budaya produksi), dan seluruh elemen pelaku pasar tradisional di Propinsi DIY meliputi pedagang, pemasok, pengecer, pekerja informal, dan konsumen. Sesuai dengan UUD 1945 maka perlindungan pelaku pasar tradisional mencakup perlindungan terhadap elemen material, intelektual, dan institusional mereka.
Perlindungan ketiga dimensi dan elemen tersebut semestinya meliputi berbagai aspek komprehensif mencakup pembatasan (kuota) jumlah toko modern, penetapan lokasi dan jarak (zonasi), pembatasan jam buka toko modern, pembagian produk yang dijual, pengaturan perijinan, penyebaran kepemilikan dan penilikan toko modern, penyeimbangan hubungan antara pedagang besar, menengah, dan kecil (pembagian pangsa pasar), dan penegasan arah dan pola pembinaan pasar tradisional.

Strategi Inovasi Pasar Tradisional

Berdasarkan paparan di atas, maka strategi yang harus ditempuh dalam pengembangan pasar tradisional mencakup beberapa hal, yakni: penguatan organisasi pelaku pasar untuk mengembangkan SDM pelaku pasar, kemitraan produsen lokal dengan koperasi pasar untuk pengembangan produk lokal, pembelian kolektif melalui koperasi pasar untuk memperbaiki harga bagi produsen dan pedagang kecil, penataan (setting) pasar dan revitalisasi kios zona depan untuk memaksimalkan fungsi tempat pasar, menggerakkan kecintaan publik sejak dini melalui berbagai promosi di media public, melakukan berbagai inovasi bisnis untuk mengoptimalkan layanan kepada pelanggan.
Sedangkan pada aspek pelaku, perlu upaya serius untuk mengembangkan modal material (inovasi bangunan, lay-out dan setting, dan produk yang dijual di pasar tradisional), modal intelektual (inovasi cara bisnis, pemasaran “nilai sosial” (social marketing), dan pencitraan (branding) pasar tradisional, dan institusional (inovasi membership, usaha kolektif, resource map, dan jaringan (networking) organisasi pelaku pasar tradisional). Secara khusus pengembangn koperasi pasar dapat dilakukan melalui perluasan basis keanggotaan, diversifikasi usaha, perluasan kemitraan, dan pendidikan anggota secara intensif.
Tawaran model yang bisa didorong untuk pengembangan pasar di antaranya adalah Model Pasar Mandiri, Model Perpaduan Pasar Barang, Pasar Jasa, dan Pasar Even Regional, Model Perpaduan Pasar Tradisional dan Klaster Pasar Khusus, Model Perpaduan Pasar Desa, Pasar Khusus, dan Pasar Even Lokal, Model Koridor Ekonomi (Shopping-belt) Pasar Khusus Wisata, dan Model Pengembangan Bursa Koperasi Pasar Yogyakarta (Bukopy).
Studi PUSTEK-UGM dan LOS DIY yang berlangsung pada akhir tahun 2010 dan awal 2011 ini dapat dijadikan salah satu awalan bagi kebijakan perlindungan dan pengembangan pasar tradisional di DIY. Diharapkan juga studi ini dapat dijadikan pemantik bagi upaya pemerintah dan DPR DIY yang saat ini sedang menyusun Raperda, pemerintah dan DPRD kabupaten dan Kota yang sedang berbenah dalam pengelolaan pasar tradisional.
Selain itu pada level pelaku langsung seperti dinas pasar, koperasi pasar, pedagang pasar, APPSI, dapat merapatkan barisan untuk tetap semangat dalam bekerjasama mengembangkan pasar tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan begitu semoga gebyar pasar di DIY tidak semakin meredup dan pasar tidak justru makin ilang kumandange.
REVIEW JURNAL
Sudah banyak kajian yang menyebut pasar tradisional kini mengalami ancaman serius dari masifnya penetrasi dan ekspansi pusat perbelanjaan dan retail modern. Studi UGM, Nielson, SMERU, dan INDEF, mengkonfirmasi menurunnya omset pedagang di pasar tradisional maupun toko-toko lokal. Sayangnya, sampai dengan saat ini belum ada upaya serius dari banyak pihak terutama pemerintah untuk mengantisipasi hal itu.
Baru-baru ini Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dan Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) DIY juga melakukan studi dalam konteks Yogyakarta.  Penelitian ini menemukan penurunan rata-rata sebesar –5,9%, namun penurunan yang lebih besar dialami oleh kelompok pedagang dengan aset antara Rp 5-15 juta, Rp 15-25 juta, dan di atas Rp 25 juta, yang masing-masing mengalami penurunan sebesar –14,6%, –11%, dan – 20,5%. Berdasarkan kewilayahan, penurunan omset tertinggi dialami oleh pedagang di kota Yogyakarta dan kabupaten Sleman, masing-masing sebesar – 25,5% dan – 22,9%. Penelitian ini juga menemukan bahwa yang paling terkena dampak adalah mereka yang pasokan dagangannya berasal dari industri/pabrikan dan lokasinya berdekatan dengan toko modern.  Penelitian ini mengungkap bahwa pedagang pasar tradisional yang menjual produk pabrikan sebesar 34%, produk pabrikan dan produk desa sebesar 18%, produk impor 3%, dan produk desa sebesar 45%.
Pada tingkat nasional, saat ini 28 ritel modern utama menguasai 31% pangsa pasar ritel dengan total omset sekitar Rp. 70,5 trilyun. Ini artinya bahwa satu perusahaan rata-rata menikmati Rp. 2,5 Trilyun omset ritel/tahun atau Rp. 208,3 milyar/bulan. Padahal kalau ditelusuri omset ritel modern tersebut terkonsentrasi pada 10 ritel inti, yakni minimarket Indomaret dan Alfamart (83,8%), supermarket Hero, Carrefour, Superindo, Foodmart, Yogya, dan Ramayana (75%), dan hypermarket Carrefour (48,7%), Hypermart (22%), Giant (17,7%), Makro (9,5%), dan Indogrosir (1,9%) (Pandin, 2009).
Hal ini kontras dengan ritel tradisional yang memiliki total omset sebesar Rp. 156,9 trilyun namun dibagi kepada sebanyak 17,1 juta pedagang, yang 70%-nya masuk kategori informal. Dengan demikian satu usaha pedagang tradisional rata-rata hanya menikmati omset sebesar Rp. 9,1 juta /tahun atau Rp. 764,6 ribu/bulan.
Penetrasi pasar modern secara makro ekonomi tidak saja mengancam pelaku pasar tradisional, tetapi juga pelaku ekonomi pada sektor-sektor lain, Sayangnya, regulasi pada tingkat nasional terkait perdagangan (Perpres No 112/2007 dan Permendag No 53/2008) tidak memiliki kecukupan material dan substansial dalam memberi arah dan model perlindungan dan pengembangan sistem nilai, modal sosial, dan pelaku pasar tradisional. Semangatnya justru lebih mengarah pada persaingan bebas (free fight liberalism).
Draft RUU Perdagangan yang sedang dibahas Pemerintah dan DPR saat ini juga lebih mencerminkan ketertundukan pada kenyataan faktual daripada cita-cita yang ideal (law as a tool of social enginering). Perlindungan ketiga dimensi dan elemen tersebut semestinya meliputi berbagai aspek komprehensif mencakup pembatasan (kuota) jumlah toko modern, penetapan lokasi dan jarak (zonasi), pembatasan jam buka toko modern, pembagian produk yang dijual, pengaturan perijinan, penyebaran kepemilikan dan penilikan toko modern, penyeimbangan hubungan antara pedagang besar, menengah, dan kecil (pembagian pangsa pasar), dan penegasan arah dan pola pembinaan pasar tradisional.
Oleh karena itu, maka strategi yang harus ditempuh dalam pengembangan pasar tradisional mencakup beberapa hal, yakni: penguatan organisasi pelaku pasar untuk mengembangkan SDM pelaku pasar, kemitraan produsen lokal dengan koperasi pasar untuk pengembangan produk lokal, pembelian kolektif melalui koperasi pasar untuk memperbaiki harga bagi produsen dan pedagang kecil, penataan (setting) pasar dan revitalisasi kios zona depan untuk memaksimalkan fungsi tempat pasar, menggerakkan kecintaan publik sejak dini melalui berbagai promosi di media public.
Sedangkan pada aspek pelaku, perlu upaya serius untuk mengembangkan modal material (inovasi bangunan, lay-out dan setting, dan produk yang dijual di pasar tradisional), modal intelektual (inovasi cara bisnis, pemasaran “nilai sosial” (social marketing), dan pencitraan (branding) pasar tradisional, dan institusional (inovasi membership, usaha kolektif, resource map, dan jaringan (networking) organisasi pelaku pasar tradisional). Secara khusus pengembangn koperasi pasar dapat dilakukan melalui perluasan basis keanggotaan, diversifikasi usaha, perluasan kemitraan, dan pendidikan anggota secara intensif.

resensi:
http://www.ekonomirakyat.org/_artikel.php?id=13

Selasa, 17 April 2012

Pola Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia



Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia


       Indonesia adalah salah satu bangsa yang terdapat di Asia. Kehidupan di Indonesia memiliki potensi alam dan kebudayaan yang sangat tinggi, sehingga Indonesia tidak hanya dikenal dalam hal budaya dan potensi alam saja melainkan juga dalam hal pola kehidupan semua masyarakatnya.
Masyarakat Indonesia hampir menempati seluruh kepulauan yang ada di Indonesia yang menjadi satu kesatuan. Oleh karena pengaruh emigrasi, ada juga masyarakat Indonesia yang menetap di wilayah luar Indonesia. Selain itu, diimbangi pula dengan keadaan perhubungan yang sangat baik dan lancar, baik darat, laut, maupun udara.
      
       Bangsa Indonesia terletak di antara dua benua dan dua samudra, dimana wilayah tersebut dapat dikatakan sebagai tempat yang sangat strategis. Hal ini jugalah yang menyebabkan Indonesia memiliki iklim tropis. Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang memiliki beribu-ribu kepulauan. Indonesia memiliki 17.504 pulau besar dan kecil, sekitar 6000 di antaranya tidak berpenghuni, yang menyebar disekitar khatulistiwa. Posisi Indonesia terletak pada koordinat 6°LU – 11°08′LS dan dari 97°’ – 141°45′BT. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi 1,9 juta mil². Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana setengah populasi Indonesia hidup.

       Kemajuan teknologi telah merambah ke pelosok-pelosok negeri . Satelit atau parabola yang dapat menangkap banyak channel-channel televisi , mulai dari ujung timur sampai dengan ujung barat. Internet sudah mulai memasuki di kafe-kafe, di warung-warung bahkan di rumah-rumah. Banyak hal positif yang dapat kita ambil dari merebaknya internet tersebut. Namun, tidak sedikit hal-hal negatif yang akan memperngaruhi kehidupan masyarakat, terutama kalangan remaja.

       Di samping itu maraknya sinetron-sinetron dan film-film layar lebar yang mengupas tentang kehidupan remaja turut pula memberikan andil yang besar terhadap perkembangan remaja dewasa ini. Hal itu disebabkan karena keingintahuan mereka yang sangat tinggi terhadap apa yang mereka lihat. Karena itulah mereka cenderung ingin mengikuti apa yang mereka lihat di televisi, film, dan internet. Padahal yang mereka lihat tidak lain adalah film-film orang dewasa, yang kebanyakan mengajarkan untuk mengkonsumsi narkoba, rokok, pergi ke diskotik, meminum minuman beralkohol, pulang sampai larut malam dan lain sebagainya.

       Kita dapat melihat dengan jelas bagaimana kehidupan remaja Indonesia sekarang. Kehidupan remaja Indonesia sekarang sangat berbeda dengan kehidupan remaja pada masa lalu. Kalau orang-orang tua kita mengatakan bahwa dahulu ketika remaja mereka masih tahu bertata krama dan bersopan santun kepada kedua orangtuanya dan kepada orang lain yang lebih tua maka hal itu sudah banyak yang bergeser.
Remaja sekarang banyak yang sudah tidak mengerti akan tata krama dan sopan santun. Mereka cenderung lebih berani melanggar peraturan orang tua mereka. Dari cara berpakaian pun antara remaja masa lalu dengan masa kini sudah sangat berbeda.

Sistem Kepercayaan / Religi

       Di Indonesia terdiri dari lima agama besar, yaitu: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha. Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan di dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 1998, kira-kira 88% dari 222 juta penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5% Protestan, 3% Katholik, 2% Hindu, 1% Buddha, dan 1% kepercayaan lainnya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa penganut agama Islam di Indonesia lebih mendominasi daripada keempat agama yang lain.

       Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”. Pemerintah secara resmi hanya mengakui lima agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha.

       Dengan banyaknya agama atau aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Bukan berarti bahwa selalu terjadi penekanan terhadap agama lain. Namun hal ini mulai berkurang semenjak demokrasi di Indonesia mulai ditegakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting di dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia. Tapi, satu hal yang sangat menonjol yaitu bahwa kebebasan sangat dijunjung tinggi dalam hal ini. Semuanya hidup secara damai. Inilah yang membuat bangsa Indonesia terkenal dengan keanekaragamannya.

Bahasa Dan Kesenian

       Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi dan bahasa persatuan Republik Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36 dan tersirat dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Bahasa ini diresmikan pada tahun 1945, tepat pada masa kemerdekaan bangsa Indonesia. Meski demikian, tidak banyak dari penduduk Indonesia yang menggunakannya sebagai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari karena masyarakat lebih suka menggunakan bahasa daerahnya. Bahasa Indonesia sendiri adalah sebuah dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia tapi telah mengalami banyak perubahan dan penyempurnaan.

       Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Secara sosiologis, bisa dikatakan bahwa bahasa Indonesia baru diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya. Fonologi dan tata bahasa dari bahasa Indonesia cukuplah mudah. Bahasa Indonesia juga merupakan bahasa yang digunakan sebagai penghantar pendidikan di perguruan-perguruan di Indonesia.

       Sementara itu, jenis kesenian di Indonesia dapat dikategorikan dalam beberapa klasifikasi seperti: seni tari, seni music, seni bela diri, seni busana, dan banyak lagi. Kebanyakan kesenian tersebut dipengaruhi oleh beberapa kebudayaan. Tari Jawa dan Bali yang terkenal berisi aspek-aspek kebudayaan dan mitologi Hindu. Di bidang busana warisan budaya yang terkenal di seluruh dunia adalah kerajinan batik. Seni bela diri yang unik juga berasal dari wilayah Indonesia. Seni bela diri ini kadang-kadang ditampilkan pada acara-acara pertunjukkan yang biasanya diikuti dengan musik tradisional Indonesia berupa gamelan dan seni musik tradisional lainnya sesuai dengan daerah asalnya. Dan juga seni musik di Indonesia, baik tradisional maupun modern sangat banyak terbentang dari Sabang hingga Merauke salah satu contohnya adalah music dangdut.

Ekonomi Dan Mata Pencaharian

       Tidak dapat dipastikan secara keseluruhan apakah Indonesia mengadaptasi sistem ekonomi kapitalis secara keseluruhan atau tidak pada masa orde lama. Namun, berdasarkan beberapa pasal yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang dapat disimpulkan bahwa Indonesia menggunakan sistem perpajakan dengan nilai pajak yang cukup tinggi, dan pemerintah masih ikut campur tangan ke dalam beberapa kegiatan produksi yang berpengaruh bagi masyarakat banyak dan yang mungkin mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi negara. Ini menandakan bahwa Indonesia tidak seutuhnya mengadaptasi sistem ekonomi kapitalis, namun juga memadukannya dengan prinsip-prinsip dari dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila.

       Berdasarkan beberapa sumber, Indonesia pernah menggunakan sistem ekonomi uang dan sewa tanah serta perpajakan, dimulai sejak kedatangan Inggris ke Indonesia pada awal abad ke-19 dengan Raffles sebagai gubernur jenderalnya. Oleh itu, Indonesia hanya perlu mengadaptasi dan memperbaiki sistem yang sudah ada.

       Sistem ekonomi Indonesia juga didukung dengan diluncurkannya Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) yang menjadi mata uang pertama Republik Indonesia, selanjutnya berganti menjadi Rupiah.
Ekonomi Indonesia mengalami kemunduran pada akhir tahun 1990-an akibat krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Asia pada saat itu. Ekonominya kini telah lumayan stabil saat ini. Indonesia mempunyai sumber daya alam yang besar di luar Jawa, termasuk minyak mentah, gas alam, timah, tembaga, dan emas. Indonesia pengekspor gas alam terbesar kedua di dunia, meski akhir-akhir ini ia telah mula menjadi pengimpor bersih minyak mentah. Hasil pertanian yang utama termasuk beras, teh, kopi, rempah-rempah, dan karet.

       Rekan perdagangan terbesar Indonesia yaitu Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara jirannya yaitu Malaysia, Singapura dan Australia.

       Meski kaya akan sumber daya alam dan manusia, Indonesia masih menghadapi masalah besar dalam bidang kemiskinan yang sebagian besar disebabkan oleh korupsi yang merajalela dalam pemerintahan.
Berbicara mengenai mata pencaharian, umumnya mata pencaharian masyarakat Indonesia saat ini bergelut di bidang kesenian, hukum, kedokteran, militer, dagang, pariwisata, pasar modal, dan lain-lain. Tetapi dengan banyaknya mata pencaharian tersebut bukan berarti bahwa bangsa Indonesia telah terlepas dari pengangguran dan kemiskinan. Masih banyak masyarakt Indonesia yang berada di dalam lingkaran pengangguran dan di bawah garis kemiskinan.


 sumber: dari penjelajahan internet
icon wink Pola Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia

Senin, 09 April 2012

Pengaruh Globalisasi Pada Perkembangan Ekonomi Indonesia

Pengertian dan Definisi Globalisasi

Globalisasi merupakan perkembangan kontemporer yang mempunyai pengaruh dalam mendorong munculnya berbagai kemungkinan tentang perubahan dunia yang akan berlangsung. Pengaruh globalisasi dapat menghilangkan berbagai halangan dan rintangan yang emnjadikan dunia semakin terbuka dan saling bergantung satu sama lain. Bisa dibilang bahwa globalisasi membawa perspektif baru tentang konsep "Dunia Tanpa Batas" yang saat ini menjadi realita dan sangat mempengaruhi perkembangan budaya dan membawa perubahan baru.

Berikut ini adalah pengertian dan definisi globalisasi:
# SELO SOEMARDJAN
Globalisasi adalah terbentuknya sistem organisasi dan komunikasi antar masyarakat di seluruh dunia untuk mengikuti sistem dan kaidah-kaidah yang sama.
# A.G. MC GEW
Globalisasi merupakan proses dimana berbagai peristiwa, keputusan dan kegiatan di belahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat di belahan dunia yang lain

Pengaruh Globalisasi Pada Perkembangan Ekonomi Indonesia

Globalisasi merupakan proses dimana hubungan sosial dan saling ketergantungan antarnegara dan antarmanusia menjadi semakin tidak berbatas. Sedangkan menurut  Selo Soemardjan, Globalisasi adalah terbentuknya sistem organisasi dan komunikasi antar masyarakat di seluruh dunia untuk mengikuti sistem dan kaidah - kaidah yang sama. Globalisasi terjadi pada bidang informasi, ekonomi, serta budaya. Sudah sejak lama pemerintah Indonesia menggembar - gemborkan tentang globalisasi itu sendiri. Dengan harapan masyarakat dan pelaku industri siap menghadapi segala dampak dari globalisasi terutama pengaruh globalisasi pada perkembangan ekonomi Indonesia.
Pasar bebas merupakan salah satu bentuk nyata dari globalisasi ekonomi. Pengaruh dari globalisasi pada perkembangan ekonomi Indonesia diantaranya adalah tumbuhnya kreativitas para pelaku ekonomi Indonesia serta semakin mendunia produk - produk buatan Indonesia. Dengan adanya globalisasi, para pelaku ekonomi, memang dituntut untuk semakin kreatif menciptakan produk - produk yang tidak hanya mampu bersaing dengan sesama produk buatan dalam negeri, namun juga harus mampu bersaing dengan produk - produk dari negara lain. Tanpa adanya pengembangan produk, sudah pasti produk mereka tidak akan bisa laku di pasaran. Terlebih sejak CAFTA (China Asia Free Trade Assosiation) diberlakukan, barang - barang dari China mulai membanjiri pasar Indonesia. Tidak hanya bentuk serta tampilan produk yang menarik, namun juga harga yang ditawarkan sangat murah bila dibandingkan dengan produk - produk buatan Indonesia. 
Sebenarnya banyak pihak yang menyayangkan mengapa Indonesia ikut menandatangani CAFTA. Tidak hanya karena dunia industri Indonesia dianggap belum siap menghadapi pengaruh globalisasi pada perkembangan ekonomi Indonesia, namun juga karena kondisi internal ekonomi Indonesia yang masih belum stabil. Namun dengan alasan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang jauh tertinggal dalam bidang ekonomi bila tidak turut serta dalam perjanjian CAFTA tersebut, maka siap atau tidak, akhirnya Indonesia terlibat dalam pasar bebas Asia.
Bagi beberapa pelaku industri, terutama yang selama ini mengandalkan bahan baku import dari China, malah menjadi pihak yang diuntungkan atas masuknya Indonesia ke dalam pasar bebas Asia. Mereka bisa mendapatkan bahan baku dengan harga yang jauh lebih murah karena dilakukannya perjanjian penghapusan tarif import sehingga bisa menekan banyak biaya yang harus mereka keluarkan. Dengan mendapatkan bahan baku yang murah, maka secara otomatis kegiatan industri bisa semakin berkembang. Itu merupakan contoh positif dari pengaruh globalisasi pada perkembangan ekonomi Indonesia. 

 

 

 

 

Rabu, 28 Maret 2012

ARTI KESUKSESAN DAN KEGAGALAN

Apa yang ada di benak anda ketika mendengar kata sukses? Apa pula yang ada di benak anda ketika mendengar kata gagal? Mendengar kata sukses tentu semua orang akan membayangkan sebuah keberhasilan dan terpenuhinya semua keinginan yang ingin di capai. Mendengar kata gagal, tentu semua orang akan membayangkan sebuah keadaan yang sangat tidak mengenakkan karena tidak terpenuhinya keinginan yang ingin kita capai.
Dalam dunis bisnis, dua kata ini adalah sebuah tujuan dan resiko yang akan selalu kita hadapi. Jika tidak sukses meraih keinginan, pasti kita akan dihadapkan pada sebuah kegagalan.
Sikap terbaik memandang sebuah kesuksesan adalah dengan melihat urutan dan cara bagaimana meraihnya. Kenapa orang bisa sukses? Karena mereka melakukan hal yang benar. Promosi, pengaturan keuangan, tim yang hebat, produk yang bagus adalah sebuah kesatuan yang disebut melakukan hal yang benar.
Begitu pula sikap terbaik memandang sebuah kegagalan dengan melihat urutan yang menyebabkan mereka gagal. Mengapa mereka bisa gagal? Karena mereka melakukan hal yang salah. Promosi yang kurang, pengaturan keuangan yang amburadul, tim yang kacau, produk yang jelek merupakan sebuah kesatuan yang disebut melakukan hal yang salah.
Intinya, jika ingin menjadi orang sukses, kita harus melakukan tindakan yang telah dilakukan orang-orang sukses untuk meraih kesuksesannya. Jika kita menemui kegagalan, haruslah kegagalan itu dijadikan sebagai peringatan dan pelajaran bahwa tindakan yang telah kita lakukan bukanlah tindakan yang benar. Dengan bisa mengambil hikmah dari sebuah kegagalan, niscaya kesuksesan akan segera ada di depan mata.
Sukses untuk anda…..

MEMAHAMI HUKUM KOPERASI

koperasi Sebagai Sistem Ekonomi

Dalam perspektif hukum, landasan koperasi sebagai sebuah sistem ekonomi telah diatur sangat jelas dalam UUD 1945 Pasal 33. Pasal tersebut dengan ketiga ayatnya merupakan satu kesatuan dari sistem norma hukum, tidak saja karena sejarah Republik yang telah menggariskannya, tetapi karena di sanalah sebenarnya terletak ideologi ekonomi, esensi keadilan bernegara, dan logika-logika kemerdekaan sebuah bangsa. Terlepas dari upaya pengaburan hakikat Pasal 33 melalui hasil amandemen keempat UUD 1945 pada 2002 dengan menambahkan dua ayat baru, pemahaman mengenai hakikat asli Pasal 33 menjadi sangat penting.

Pernyataan Swasono (2007) bahwa hakikat Pasal 33 UUD 1945 adalah wujud nasionalisme ekonomi Indonesia mengandung pengertian berupa tekad kemerdekaan untuk mengganti asas perorangan (individualisme) menjadi asas kebersamaan dan kekeluargaan. Usaha bersama atas asas kekeluargaan adalah wujud kebersamaan, suatu mutualism andbrotherhood; bukan individualisme, melainkan saling menghormati dan peduli sesama serta saling tolong-menolong sebagai sebuah kewajiban bersama. Pasal ini juga dipandang telah memposisikan rakyat Indonesia secara substansial untuk memperoleh sebesar-besar kemakmuran dari bumi, air dan kekayaan alam Indonesia.Bila memperhatikan hakikat Pasal 33 tersebut, sangat jelas tampak sebuah keterkaitan yang erat antara Pasal 33, khususnya ayat (1), dengan nilai utama koperasi, yaitu kerjasama. Koperasi sebagai sebuah gerakan ekonomi yang berbasis anggota, memiliki prinsip dasar mengedepankan kekuatan anggota untuk saling bekerjasama dalam memenuhi kesejahteraan bersama secara mandiri. Bila dilihat sejarah konstitusi, khususnya penjelasan UUD 1945 yang sebelum amandemen diakui keberadaannya, badan usaha yang sangat sesuai dengan asas kekeluargaan adalah koperasi. Pasal 33 merupakan sikap founding fathers yang menghendaki suatu transformasi badan usaha yang ada pada masa itu ke arah Koperasi Indonesia.Dalam pengertian ini, transformasi tersebut tidak berarti mengubah semua badan usaha menjadi badan usaha koperasi, namun sebenarnya menitikberatkan pada koperasi sebagai sebuah sistem ekonomi. Swasono (2007) menyatakan bahwa dengan sistem ekonomi koperasi, bentuk-bentuk perusahaan seperti PT, Firma, CV, BUMN, BUMD dan sebagainya dapat memiliki bangun koperasi, dengan spirit internal dan jejaring esksternal yang berdasarkan asas kebersamaan dan kekeluargaan sebagai sistem ekonomi nasional berdasarkan Triple Co, yaitu: co-ownership, co-determination dan co-responsibility. Dengan mewujudkan sistem ekonomi koperasi, maka koperasi sebagai sebuah badan usaha juga akan tumbuh dan berkembang sebagai entitas bisnis.Bila koperasi sebagai sistem ekonomi kembali dikaitkan dengan pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa di atas, sangat jelas bahwa sejauh ini upaya untuk menjalankan sistem ekonomi koperasi sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 telah gagal. Kegagalan ini dapat dilihat dari pranata-pratana yang dibangun dan dikembangkan oleh Pemerintah dalam menopang sistem ekonomi. Segala rezim, mulai dari Orde Baru sampai sekarang, sangat jelas keberpihakannya kepada pengembangan pranata-pranata yang menopang sistem ekonomi kapitalis liberal seperti perbankan, pasar modal dan berbagai institusi keuangan lainnya. Tentu saja, setiap rezim itu menyertakan dalam programnya pengembangan ekonomi kerakyatan. Akan tetapi, sayangnya, sejarah mencatat keberpihakan kepada sistem ekonomi kapitalis liberal terlalu sulit diingkari.

Koperasi Sebagai Badan Usaha

Dasar hukum koperasi sebagai sebuah badan usaha terdapat dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (UU Koperasi) dan berbagai peraturan pelaksananya. Dalam UU ini, koperasi didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi yang melandaskan kegiatannya pada prinsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Terkait koperasi sebagai badan usaha, Hatta (1933) menegaskan rakyat sebagai produsen-produsen kecil harus bergabung membentuk koperasi (produksi). Dengan cara ini, teknik baru dalam bidang produksi lebih mungkin untuk dikuasai daripada dilakukan secara terpisah-pisah. Usaha bersama akan membangkitkan skala ekonomi dan meningkatkan produktivitas. Dengan kekuatan ini, koperasi akan mampu mempengaruhi pasar.Dari pendapat Hatta ini, dapat disimpulkan bahwa koperasi sebagai badan usaha sebenarnya tidak anti-pasar. Untuk dapat berkompetisi dalam pasar, koperasi sebagai badan usaha harus mampu membaca potensi anggota, mengkoordinasikan segala sumberdaya yang ada, dan memetakan peluang usaha untuk memproduksi barang atau jasa secara mandiri. Pilihan terhadap peluang usaha pertama-tama harus didasarkan pada kepentingan ekonomi bersama anggotanya. Misalnya, jika sekelompok peternak sapi ingin mendirikan koperasi, maka yang paling sesuai dengan kepentingan ekonomi mereka adalah usaha penjualan atau pengolahan susu sapi. Dalam konteks ini, koperasi harus tunduk pada kaidah, prinsip dan logika entitas bisnis, di mana prinsip manajemen yang profesional dan prinsip keuangan yang baik harus menjadi landasan utama.Bila dikaitkan kembali koperasi sebagai sebuah badan usaha dengan pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa tadi, sebahagian besar koperasi dalam perjalanan sejarah tidak tumbuh secara profesional dan mandiri. Kegagalan negara menciptakan sistem ekonomi koperasi tentu turut mempengaruhi perkembangan koperasi sebagai badan usaha. Semangat kerjasama koperasi digilas oleh budaya pragmatisme yang tumbuh subur dalam 'ideologi' persaingan. Selain itu, keterlibatan pemerintah selama ini lebih mengintervensi bentuk kelembagaan koperasi daripada membantu menyelesaikan permasalahan utama koperasi, antara lain, akses pada modal dan pasar. Sepak-terjang Koperasi Unit Desa (KUD) selama Orde Baru membuktikan betapa koperasi lebih ditempatkan sebagai entitas politik daripada bisnis. Selain permasalahan eksternal ini, secara internal banyak pengurus koperasi dalam perkembangannya lebih tertarik mengurus usaha atau unit simpan-pinjam daripada menciptakan usaha produktif.Akhirnya, belajar mengenai perseroan terbatas maupun bentuk-bentuk organisasi perusahaan lainnya -terutama dalam alam pikiran dewasa ini di mana logika kapitalistik liberal sudah merupakan keniscayaan- kiranya tidak memerlukan pengantar panjang-lebar mengenai 'dasar-dasar ideologis dan filosofis' bagi berbagai pemahaman dan pengertian yang terkandung di dalamnya. Hal ini jugalah yang membuat tugas (pembelajaran) hukum koperasi Indonesia menjadi semakin berat. Sebelum memulai dengan bahasan mengenai apa-dan-bagaimananya koperasi berfungsi sebagai sebuah organisasi perusahaan, pembelajar harus susah-payah menjawab serentetan pertanyaan terkait mengapa 'koperasi' sebagai gagasan dan kenyataan harus muncul dalam perjalanan sejarah peradaban manusia. Akan tetapi, selama UUD 1945 Pasal 33 ayat 1 sampai 3 masih ada seperti sedia-kala, sampai kapan pun memang itulah yang harus dikerjakan; karena, seperti yang telah dipesankan oleh perancangnya sendiri, Hatta, "cita-cita koperasi Indonesia adalah tantangan fundamental terhadap kapitalisme liberal!"

Minggu, 18 Maret 2012

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.
Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya untuk kepentingan tulisan ini disingkat UUPI), membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI memberikan batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.
Tulisan ini dibuat dengan tujuan utama untuk memberi pengantar bagi sejarah perkembangan Bank Islam di Indonesia dengan pembahasan pokok menyangkut perkembangan teoritis, kelembagaan dan hukum positif mengenai Perbankan Islam. Namun mengingat perbankan Islam bukan merupakan fenomena khas Indonesia serta perkembangannya tidak mungkin terjadi tanpa pengaruh dunia luar, maka bab sebelumnya akan membahas perkembangan perbankan Islam secara umum di luar Indonesia dan secara internasional.
Perkembangan Perbankan Islam
Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan Bank Islam mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul mengingat anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan membiayai operasinya.
Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962) .
Secara kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr Bank. Didirikan di Mesir pada tahun 1963, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian . Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup . Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersil.
Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House .
Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) . Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan bedasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian.
Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam .
Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bulan Maret 1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar dan beranggotakan semua negara anggota OKI .
Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).
Perbankan Islam di Indonesia
Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will belum mendukung.
Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.
Hukum Perbankan Islam
Sebagaimana telah dikemukakan, secara teoritis Bank Islam baru dirintis sejak tahun 1940-an dan secara kelembagaan baru dapat dibentuk pada tahun 1960-an. Di Indonesia kenyataannya baik secara teoritis maupun kelembagaan, perkembangan Bank Islam bahkan lebih kemudian. Eksistensi Bank Islam secara hukum positif dimungkinkan pertama kali melalui Pasal 6 huruf m Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah sebagaimana dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam UUPI, namun hanya menyebutkan:
“menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah."
Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dan di penjelasannya disebut “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”.
Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank.
Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992,
keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam hal :
  1. Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
  2. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank. Tidak mengherankan bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”, yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang bersifat perbankan konvensional.
Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan syariah pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut. Perkembangan kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan di antaranya perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan menjadi ‘badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI.
Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam makalahnya yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional” beliau mengatakan sebagai berikut :
“Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil” yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “bunga”.
… Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis).”
Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998, penyebutan terhadap entitas perbankan Islam secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yakni :
  1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah;
  2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
  3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia, yakni :
  1. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah , yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
  2. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan
  3. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) , yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional.
Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, relevan dikemukakan dalam hal ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain, dengan demikian UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya.
Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa mengenai produk perbankan syariah, lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transaksi dan akad lembaga keuangan syariah, yakni sebagai berikut:
No.NOMOR FATWATENTANG
101/DSN-MUI/IV/2000Giro
202/DSN-MUI/IV/2000Tabungan
303/DSN-MUI/IV/2000Deposito
404/DSN-MUI/IV/2000Murabahah
505/DSN-MUI/IV/2000Jual Beli Salam
606/DSN-MUI/IV/2000Jual Beli Istishna
707/DSN-MUI/IV/2000Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
808/DSN-MUI/IV/2000Pembiayaan Musyarakah
909/DSN-MUI/IV/2000Pembiayaan Ijarah
1010/DSN-MUI/IV/2000Wakalah
1111/DSN-MUI/IV/2000Kafalah
1212/DSN-MUI/IV/2000Hawalah
1313/DSN-MUI/IX/2000Uang Muka dalam Murabahah
1414/DSN-MUI/IX/2000Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
1515/DSN-MUI/IX/2000Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
1616/DSN-MUI/IX/2000Diskon dalam Murabahah
1717/DSN-MUI/IX/2000Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran
1818/DSN-MUI/IX/2000Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS
1919/DSN-MUI/IX/2000Al-Qardh
2020/DSN-MUI/IX/2000Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah
2121/DSN-MUI/X/2001Pedoman Umum Asuransi Syari’ah
2222/DSN-MUI/III/2002Jual Beli Istishna Paralel
2323/DSN-MUI/III/2002Potongan Pelunasan Dalam Murabahah
2424/DSN-MUI/III/2002Safe Deposit Box
2525/DSN-MUI/III/2002Rahn
2626/DSN-MUI/III/2002Rahn Emas
2727/DSN-MUI/III/2002Al-Ijarah al-Muntahiya bi al-Tamlik
2828/DSN-MUI/III/2002Jual Beli Mata Uang (al-Sharf)
2929/DSN-MUI/VI/2002Pembiayaan Pengurusan Haji LKS
3030/DSN-MUI/VI/2002Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah
3131/DSN-MUI/VI/2002Pengalihan Utang
3232/DSN-MUI/IX/2002Obligasi Syari’ah
3333/DSN-MUI/IX/2002Obligasi Syari’ah Mudharabah
3434/DSN-MUI/IX/2002L/C Impor Syari’ah
3535/DSN-MUI/IX/2002L/C Ekspor Syari’ah
3636/DSN-MUI/X/2002Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
3737/DSN-MUI/X/2002Pasar Bank Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah
3838/DSN-MUI/X/2002Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (Sertifikat IMA)
3939/DSN-MUI/X/2002Asuransi Haji
4040/DSN-MUI/X/2003Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di bidang Pasar Modal
4141/DSN-MUI/III/2004Obligasi Syariah Ijarah
4242/DSN-MUI/V/2004Syariah Charge Card
4343/DSN-MUI/VIII/2004Ganti Rugi (Ta’widh)