1. Kedudukan nasabah Bank Syariah jika dilihat dari sistem perbankan baru yang pada pokoknya mengacu pada ketentuan-ketentuan ekonomi dan perniagaan Syariah Islam
Sejak munculnya perbankan di Indonesia hingga saat ini yang mengalami perkembangan begitu pesat, landasan hukum operasional perbankan syariah pertama kali mendapatkan pengaturan melalui UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Untuk mengidentifikasi atau mengenali jenis bank syariah, UU ini menggunakan istilah “bank dengan prinsip bagi hasil”. Prinsip bagi hasil setelah mengalami perubahan dan dipertegas menjadi “prinsip syariah”. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasar hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang sesuai syariah.
Kaitannya dengan Perbankan Syariah Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 ini, lebih memberikan angin segar bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia, karena undang-undang inilah yang secara tegas membedakan bank berdasarkan prinsip operasionalnya menjadi dua yaitu bank konvensional dan bank berdasarkan Prinsip Syariah.
Nasabah yang berhubungan dengan Bank Syariah untuk memanfaatkan produk-produk yang ada di dalamnya dapat memanfaatkan produk sesuai dengan kebutuhan dan motif yang ada padanya. Hal ini berlaku baik pada produk penghimpunan dana (funding), produk penyaluran dana (lending), maupun produk di bidang jasa (fee based income product).
Untuk itu maka pihak bank syariah kaitannya dengan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat tinggal melihat atau menanyakan kepada nasabah apa motif dibaliknya. Dalam hal nasabah menginginkan faktor keamanan (safety), maka bank dapat menawarkan produk berupa giro atau tabungan yang memakai prinsip titipan (wadiah). Dengan memilih giro wadiah atau tabungan wadiah, maka nasabah dapat mengambil uangnya sewaktu-waktu sejumlah yang ia simpan tanpa menanggung risiko akan kehilangan dananya, serta berpeluang mendapatkan bonus yang besarnya semata-mata berdasarkan kebijakan bank syariah yang bersangkutan.
Untuk itu maka pihak bank syariah kaitannya dengan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat tinggal melihat atau menanyakan kepada nasabah apa motif dibaliknya. Dalam hal nasabah menginginkan faktor keamanan (safety), maka bank dapat menawarkan produk berupa giro atau tabungan yang memakai prinsip titipan (wadiah). Dengan memilih giro wadiah atau tabungan wadiah, maka nasabah dapat mengambil uangnya sewaktu-waktu sejumlah yang ia simpan tanpa menanggung risiko akan kehilangan dananya, serta berpeluang mendapatkan bonus yang besarnya semata-mata berdasarkan kebijakan bank syariah yang bersangkutan.
Adanya berbagai motif nasabah dalam menyimpan dan meminjam dana di Bank syariah, maka ditinjau secara yuridis bank syariah bertanggung jawab kepada banyak pihak (stakeholders). Pihak – pihak yang dimaksud antara lain terdiri dari nasabah penabung, pemegang saham, investor obligasi, bank koresponden, regulator, pegawai perseroan, pemasok serta masyarakat dan lingkungan.
Jadi, secara yuridis kedudukan nasabah Bank Syariah jika dilihat dari sistem perbankan baru yang pada pokoknya mengacu pada ketentuan-ketentuan ekonomi dan perniagaan Syariah Islam sebagai pihak yang dilindungi dan diberikan pelayanan oleh Bank Syariah.
2. Perlindungan Hukum bagi Nasabah Debitur Bank Syariah sebagai Konsumen dalam Perjanjian Kredit Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Dalam perkembangan tentang perbankan syariah yang terjadi di Indonesia, khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi nasabah – nasabah Bank Syariah, keberadaan Undang – undang syariah tidak secara tegas mengatur perlindungan hukum bagi nasabahnya. Sebagaimana disebut di atas bahwa peraturan hukum yang memberikan perlindungan bagi nasabah sebagai konsumen tidak hanya melalui bukan satu-satunya hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen di Indonesia.
Adanya klausula-klausula dalam perjanjian kredit pada bank sepatutnya merupakan upaya kemitraan, karena baik bank selaku kreditur maupun nasabah debitur kedua-duanya saling membutuhkan dalam upaya mengembangkan usahanya masing-masing.
Klausula yang demikian ketatnya didasari oleh sikap bank untuk melaksanakan prinsip kehati – hatian dalam pemberian kredit bagi nasabahnya. Dalam memberikan perlindungan terhadap nasabah debitur perlu kiranya peraturan tentang perkreditan direalisasikan sehingga dapat dijadikan panduan dalam pemberian kredit.
Klausula yang demikian ketatnya didasari oleh sikap bank untuk melaksanakan prinsip kehati – hatian dalam pemberian kredit bagi nasabahnya. Dalam memberikan perlindungan terhadap nasabah debitur perlu kiranya peraturan tentang perkreditan direalisasikan sehingga dapat dijadikan panduan dalam pemberian kredit.
ketentuan dalam klausula baku dalam Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam memberikan perlindungan hukum bagi nasabah dalam perjanjian kredit ini, perlu juga adanya perjanjian standart yang isinya antara lain :
1).Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan adanya dan berlakunya klausula – klausula yang penting dalam suatu perjanjian;
2).Pemberitahuan klausula dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan perjanjian kredit;
3).Klausula perjanjian dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas;
4).Memberikan kesempatan yang cukup bagi debitur untuk mengetahui isi perjanjian.
Dengan kerjasama yang baik antara pihak bank dengan nasabah, khususnya dalam hal adanya perjanjian standar mengenai kredit, maka diharapkan akan lebih mengoptimalkan perlindungan hukum bagi nasabah, sehingga dapat meminimalisasi masalah yang berkepanjangan di kemudian hari.
Kesimpulan :
- Jadi, secara yuridis kedudukan nasabah Bank Syariah jika dilihat dari sistem perbankan baru yang pada pokoknya mengacu pada ketentuan-ketentuan ekonomi dan perniagaan Syariah Islam sebagai pihak yang dilindungi dan diberikan pelayanan oleh Bank Syariah. Akan tetapi disisi lain kedudukan nasabah Bank Syariah jika dilihat dari sisi hubungan kontraktual dengan bank, kedudukan nasabah debitur sangat lemah, karena sebagian besar pasal-pasal dalam Undang – Undang Nomor 10 tahun 1998 hanya terkonsentrasi pada aspek kepentingan bank.
- Perlindungan hukum bagi nasabah bank sebagai konsumen dalam perjanjian kredit ditinjau dari peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, misalnya adanya kewajiban bagi bank untuk menjadi anggota LPS sehingga dapat memberi perlindungan bagi nasabah. Di samping itu juga adanya hak bagi nasabah untuk melakukan pengaduan nasabah, serta menggunakan forum mediasi perbankan untuk mendapatkan penyelesaian sengketa di bidang perbankan secara sederhana, murah, dan cepat.
DAFTAR PUSTAKA
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni Bandung.
Subekti, R. 1995. Aneka Perjanjian. PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Tulisan H. Sujianto. Hukum Perbankan dan Jaminan Syariah “Perlindungan Hukum bagi Nasabah Perbankan Syariah”.
Tulisan Maria Kaban. Tinjauan Yuridis terhadap Perjanjian Kredit. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Undang – Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar